Friday, October 21, 2005

Miskin Menurut anak orang kaya

Miskin

Alkisah di sebuah sekolah dasar, tercatatlah seorang siswa kelas satu. Sebut namanya Bakar. Ia anak konglomerat ternama.

Bukan cuma bapaknya yang pedagang besar. Kakek moyangnya pun demikian. Mereka adalah rezim saudagar terkenal sejak era abad pertengahan. Ketika Pires berkata, ''Tuhan menciptakan Timor untuk pala, Banda untuk lada, dan Maluku untuk cengkih,'' di sanalah kakek moyang Bakar berperan.

Bakar masih menikmati warisan kebesaran itu. Ia bersekolah di SD unggulan berstandar internasional dan bilingual, sekitar 2 kilometer dari rumah (mobil senilai Rp 1 miliar yang ia pakai hanya mencatatkan perjalanan 4 kilometer setiap hari). Seorang sopir dan ''baby sitter'' mengantar dan menungguinya setiap hari saat ia belajar.

Laiknya sekolah mahal dan unggulan lainnya, mengarang adalah pelajaran yang diposisikan amat penting di SD tersebut. Anak-anak didik, sejak kelas satu, sudah dilatih untuk mengekspresikan isi kepala mereka dengan kata-kata yang tertata baik, namun dengan isi yang mencerminkan kebebasan pikiran.

Sampailah, suatu ketika, sang guru meminta siswa kelas I membuat karangan tentang kehidupan keluarga yang sangat miskin di seberang benteng sekolah. Sang guru, yang berasal dari keluarga menengah, berharap dapat menumbuhkan empati anak-anak didiknya yang serba berada terhadap nasib kelompok lain yang tak berpunya. Bakar masih kelas satu SD. Tapi, ia penulis yang andal. Ia sefasih bapaknya saat harus melontarkan kata-kata. Ia pun secerdas ibunya saat harus membuat hitung-hitungan dan perbandingan.

Ia menulis, seperti saran gurunya, dengan penuh perasaan. ''Menulislah dengan hati,'' begitu kata-kata sang guru yang selalu ia ingat. Lalu, dengan sesekali menerawang dan membayangkan kehidupan keluarga miskin, Bakar menggoreskan pinsilnya dengan huruf-huruf yang belum sempurna benar. Ia menamai tokoh dalam karangannya sebagai Pak Abu.

''Pak Abu,'' tulisnya, ''adalah orang yang sangat miskin. Benar-benar miskin, sampi-sampai pembantunya juga miskin, sopirnya miskin, dan tukang kebunnya pun miskin.''''Karena sering tak punya uang, Pak Abu jarang membersihkan kolam renang di rumahnya. Ia juga hanya bisa memelihara ikan-ikan kecil di akuarium seperti lou han yang makannya sedikit, tidak seperti arwana dan koi di rumahku. Kucing siam punya Pak Abu juga kurus, soalnya kurang makan. Ayam yang ia pelihara juga yang kecil-kecil, jenis kate.''

Bakar yang berpikir bebas menulis karangannya itu dengan penuh haru. Ia sesekali mengernyitkan dahi. Ia berpikir dirinya tak mungkin bisa menanggungkan kemiskinan seperti yang terjadi pada keluarga Pak Abu. Alangkah malangnya keluarga Pak Abu, pikirnya. Jangan-jangan anak-anaknya harus berebut saat bermain PS2, karena alat permainan itu hanya ada satu di ruang keluarga. Lain dengan di rumahnya, setiap kamar ada. Di kamar Bakar, di kamar kakak-kakaknya, bahkan di kamar ibu-bapaknya .Sopir dan pembantu Pak Abu pun, pikirnya, pasti sedih karena tidak seperti pembantu dan sopir dirinya. Bakar membandingkan handphone yang dipegang sopir dan pembantu Pak Abu mungkin jenis monophonic yang ketinggalan zaman, lain dengan handphone pembantu dan sopirnya yang polyphonic dan bisa kirim MMS.Ia membayangkan kepala urusan dapur di rumah Pak Abu mungkin hanya bisa belanja di pasar yang becek atau supermarket kecil di perempatan jalan. Padahal, pembantu di rumahnya sangat biasa berbelanja ke hypermarket Prancis dan mal-mal. Anak-anak Pak Abu, tulisnya dengan empati penuh, kalau liburan tidak bisa ke Eropa atau Amerika seperti aku. Mereka hanya bisa berlibur ke Bali. Itu pun pakai pesawat yang murah, low cost carrier.Terserahlah, Pembaca, Anda mau bekomentar apa tentang cerita itu. Saya hanya mau menyampaikan sebuah kegagalan empati. Bukan karena orangnya tidak tulus, tapi ia memang tidak memiliki pengalaman yang memadai tentang dunia di luar dirinya. Bakar adalah wakil dari kegagalan itu. Saya kembalikan kepada Anda kisah-kisah di luar. Saat seorang menteri berkata,Kalau tidak mampu membeli elpiji, ya jangan gunakan elpiji, apa komentar Anda?

Bakar yang berpikir bebas menulis karangannya itu dengan penuh haru. Ia sesekali mengernyitkan dahi. Ia berpikir dirinya tak mungkin bisa menanggungkan kemiskinan seperti yang terjadi pada keluarga Pak Abu. Alangkah malangnya keluarga Pak Abu, pikirnya. Jangan-jangan anak-anaknya harus berebut saat bermain PS2, karena alat permainan itu hanya ada satu di ruang keluarga. Lain dengan di rumahnya, setiap kamar ada. Di kamar Bakar, di kamar kakak-kakaknya, bahkan di kamar ibu-bapaknya .

Sopir dan pembantu Pak Abu pun, pikirnya, pasti sedih karena tidak seperti pembantu dan sopir dirinya. Bakar membandingkan handphone yang dipegang sopir dan pembantu Pak Abu mungkin jenis monophonic yang ketinggalan zaman, lain dengan handphone pembantu dan sopirnya yang polyphonic dan bisa kirim MMS.

Ia membayangkan kepala urusan dapur di rumah Pak Abu mungkin hanya bisa belanja di pasar yang becek atau supermarket kecil di perempatan jalan. Padahal, pembantu di rumahnya sangat biasa berbelanja ke hypermarket Prancis dan mal-mal. ''Anak-anak Pak Abu,'' tulisnya dengan empati penuh, ''kalau liburan tidak bisa ke Eropa atau Amerika seperti aku. Mereka hanya bisa berlibur ke Bali. Itu pun pakai pesawat yang murah, low cost carrier.''

Terserahlah, Pembaca, Anda mau bekomentar apa tentang cerita itu. Saya hanya mau menyampaikan sebuah kegagalan empati. Bukan karena orangnya tidak tulus, tapi ia memang tidak memiliki pengalaman yang memadai tentang dunia di luar dirinya. Bakar adalah wakil dari kegagalan itu. Saya kembalikan kepada Anda kisah-kisah di luar. Saat seorang menteri berkata, ''Kalau tidak mampu membeli elpiji, ya jangan gunakan elpiji,'' apa komentar Anda?

Bagi saya, itu adalah kegagalan empati. Mungkin karena sekadar kurangnya wawasan dia tentang penderitaan, mungkin juga karena kemalasan melihat dunia luar. Bayangkan setelah si menteri berkata seperti itu, harga minyak tanah melambung tiga kali lipat. Kita tentu tak berharap pejabat itu akan berkata, ''Kalau tidak mampu beli minyak tanah, jangan gunakan minyak tanah.'' Lalu, ketika harga beras melonjak sekian kali lipat, ia pun berpidato lagi, ''Kalau tidak mampu beli beras, jangan makan nasi.''
Empati adalah kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain. Di dalamnya tercakup kecerdasan emosional dan sosial. Nah, jika Anda berempati kepada orang miskin, maka Anda akan memerankan diri sepenuh perasaan sebagai orang miskin. Persoalannya, apa fantasme Anda tentang kemiskinan?Penguasa kolonial mendefiniskan kemiskinan sebagai buah kemalasan. Saat mendengar kata miskin, mereka teringat pada kerbau yang hanya bergerak kalau dipacu dan lebih suka berkubang di lumpur hitam.Pemerintah kita mendefinisikan kemiskinan sebagai hasil perhitungan dari sebuah nilai subsidi. Maka, ditemukanlah angka penghasilan Rp 175 ribu sebagai batas kemiskinan. Kurang dari angka itu berarti miskin dan berhak mendapat santunan Rp 100 ribu.Persoalannya, orang yang berpenghasilan di antara Rp 175 ribu dan Rp 275 ribu masuk kategori apa? Tidak jelas, kecuali satu hal: Mereka kini menjadi penduduk termiskin di negeri ini. (Arys Hilman)Sumber: Republika - 9 Oktober 2005

Empati adalah kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain. Di dalamnya tercakup kecerdasan emosional dan sosial. Nah, jika Anda berempati kepada orang miskin, maka Anda akan memerankan diri sepenuh perasaan sebagai orang miskin. Persoalannya, apa fantasme Anda tentang kemiskinan?
Penguasa kolonial mendefiniskan kemiskinan sebagai buah kemalasan. Saat mendengar kata ''miskin'', mereka teringat pada kerbau yang hanya bergerak kalau dipacu dan lebih suka berkubang di lumpur hitam.

Pemerintah kita mendefinisikan kemiskinan sebagai hasil perhitungan dari sebuah nilai subsidi. Maka, ditemukanlah angka penghasilan Rp 175 ribu sebagai batas kemiskinan. Kurang dari angka itu berarti miskin dan berhak mendapat santunan Rp 100 ribu.Persoalannya, orang yang berpenghasilan di antara Rp 175 ribu dan Rp 275 ribu masuk kategori apa? Tidak jelas, kecuali satu hal: Mereka kini menjadi penduduk termiskin di negeri ini. (Arys Hilman)

Sumber: Republika - 9 Oktober 2005

Wednesday, October 19, 2005

sebabnya karena

pagi ini ban motorku gembos, terpaksa kubawa ke tambal ban. sementara indonesia naik satu peringkat dari nomer 5 ke nomer 6 untuk negara paling korup. vcd anak kos bandung heboh lagi. probosutedjo mulai berkoar siapa saja yang dikasih sogokan.kartu kompensasi BBM menuai banyak kecaman.protes.kantor kepala desa dirubuhkan.pegawai BPS pada ngumpet.matahari lumayan menyengat pagi ini. lama juga tambal bannya.akhirnya semua televisi menyiarkan acara religius.wah SBY = Susilo Bawahan Yusuf Kalla.Kalla mau mencalonkan presiden 2009.kupergi ke kantor naik bis.mahal dan tak berAC.untung jalanan mendung dan nggak macet.


selamat berpuasa.

Friday, October 14, 2005

Mudik !@#$%^&*

Puasa, lebaran deh.

Sebagai orang yang merantau, walaupun nggak sampe nyebrang lautan, tetep aja merantau.
Mudik pada saat lebaran, dinyatakan suatu keharusan. Entah dari mana bermula, kok ya harus lebaran. Mungkin saaatnya bermaaf-maafan, padahal kan kita merasa nggak punya salah sama oramg orang di kampung. Malah mungkin kita punya banyak kesalahan sama orang di sekitar kita yang selama satu tahun dekat dan bersama kita. Tapi pas lebaran kok ya bermaaf-maafan di kampung.

Mudik memang membawa cerita sendiri, mulai dari ongkos yang melonjak, sampe rebutan angkutannya, baik itu bis, kreta, pesawat, atau charter mobil. Kadang kita terlalu melebih-lebihkan, atau berfoya-foya pada saat mudik. Nggak perduli berapa ratus % ongkos melonjakknya, tapi kita masih berebut aja.

Ya demi mudik semua diusahakan, semua diadakan, semua harus tersedia.
Apakah anda mudik tahun ini?

Saturday, October 01, 2005

BBM Riwayatmu kini

wadoooh

nggak sabar menunggu, akhirnya datang juga. Dan telat lagi, sehingga SPBU sempat nggak buka 15 menit pada awal Oktober kelabu ini.

dan kisaran "penyesuaian" sampe dari 80 sampai dengan 180 % . Coba bagaimana tuh PAK SBY?

kita sbg rakyat selama ini cukup patuh, tp mbok ya nggak setega itu donk PAK.