Tuesday, February 13, 2007

Bagi Rasa

Bagi Rasa

Terkadang ada saat-saat dalam hidup ketika engkau merindukan seseorang
begitu dalam, hingga engkau ingin mengambilnya dari angan-anganmu, lalu memeluknya erat-erat!

Ketika pintu kebahagiaan tertutup, pintu yang lain terbuka; tetapi,
seringkali kita memandang terlalu lama pada pintu yang tertutup hingga kita tidak melihat pintu yang lain, yang telah terbuka bagi kita.

Jangan percaya penglihatan; penglihatan dapat menipu.

Jangan percaya kekayaan; kekayaan dapat sirna.

Percayalah pada dia yang dapat membuatmu tersenyum, sebab hanya senyumlah yang dibutuhkan untuk mengubah hari gelap menjadi terang.

Carilah dia, yang membuat hatimu tersenyum.

Angankan apa yang engkau ingin angankan; pergilah kemana engkau ingin pergi; jadilah seperti yang engkau kehendaki, sebab hidup hanya satu kali dan engkau hanya memiliki satu kesempatan untuk melakukan segala hal yang engkau ingin lakukan.

Semoga engkau punya cukup kebahagiaan untuk membuatmu tersenyum, cukup
pencobaan untuk membuatmu kuat, cukup penderitaan untuk tetap menjadikanmu manusiawi, dan cukup pengharapan untuk menjadikanmu bahagia.

Mereka yang paling berbahagia tidaklah harus memiliki yang terbaik dari segala sesuatu; mereka hanya mengoptimalkan segala sesuatu yang datang dalam perjalanan hidup mereka.

Masa depan yang paling gemilang akan selalu dapat diraih dengan melupakan masa lalu yang kelabu; engkau tidak akan dapat maju dalam hidup hingga engkau melepaskan segala kegagalan dan sakit hatimu.

Ketika engkau dilahirkan, engkau menangis sementara semua orang di
sekelilingmu tersenyum.

Jalani hidupmu sedemikian rupa, hingga pada akhirnya engkaulah satu-satunya yang tersenyum sementara semua orang di sekelilingmu menangis.

Jangan hitung tahun-tahun yang lewat, hitunglah saat-saat yang indah..

Hidup tidak diukur dengan banyaknya napas yang kita hirup; melainkan dengan saat-saat di mana kita menarik napas bahagia

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

Monday, February 12, 2007

apakah kita merasakannya

apakah kita merasakannya, jika setiap pagi mesti berlomba mencari celah di jalan raya agar cepat sampai ke tujuan?

apakah kemudian kita merasakannya? kita saling serobot jalanan yang sempit demi cepat kita sampai ke tujuan?

dan apakah kemudian juga kita merasakan akibatnya?

satu pertanyaan kemudian timbul?

apakah memang jalannya yang semakin sempit ataukah memang semakin banyak kendaraan yang melewatinya.

Friday, February 09, 2007

pagi yang suram

mentari seperti masih enggan terbangun
atau sang awan yang terlalu gagah menutupi
jangan salahkan hujan yang terus turun

dingin menyesaki ruangan
terbawa angin di pagi ini

ah mungkin secangkir kopi
bisa jadi teman setia

pagi,,, cepatlah pergi

Tuesday, February 06, 2007

Gila

Gila!

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gila diartikan sebagai sakit
ingatan, sakit jiwa, sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal;
tidak biasa, tidak sebagaimana mestinya, berbuat yang bukan-bukan;
terlalu, kurang ajar, ungkapan kagum; atau dapat juga berarti
terlanda perasaan sangat suka. Jadi memang pemakaian kata gila tidak
melulu identik dengan seseorang yang sakit ingatan.

Beberapa hari terakhir ini, media massa ramai memberitakan
kasus "menghilangnya" pesawat Adam Air rute Surabaya-Manado yang
belum ditemukan. Nasib 102 penumpang dan awak pesawat itu hingga kini
masih tak tentu rimbanya. Ketika dikabarkan pesawat Adam Air jatuh di
Desa Rangoan, Sulawesi Barat, semua perhatian segera mengarah ke
lokasi tersebut. Informasi ini sulit untuk tidak dipercaya, karena
cukup detail. Ketika teman saya tahu bahwa informasi tersebut hanya
hoax belaka, ia hanya bisa bergumam, "Gila!"

Ditujukan kepada apa atau siapa ungkapan tersebut, saya tidak tahu.
Apakah ditujukan kepada orang yang menyebarkan berita bohong tersebut
atau kepada pemerintah yang percaya mentah-mentah berita tersebut
tanpa perlu melakukan check and recheck terlebih dulu? Dan ketika
membaca ulasan di media yang memberitakan bujet perawatan pesawat
dibikin cekak untuk menaikkan keuntungan bisnis mereka, dus,
keselamatan penumpang diabaikan, lagi-lagi teman saya menggumam untuk
yang kedua kalinya, "Gila!"

Pada akhir 2006, kita dikejutkan oleh berita keterlambatan pengiriman
katering jemaah haji Indonesia di Tanah Suci. Sekitar 200 ribu
anggota jemaah haji asal Indonesia harus menahan lapar lebih dari 30
jam. Sepanjang sejarah pengelolaan haji yang sudah dilakukan
pemerintah selama berpuluh tahun, baru kali inilah manajemen kateringnya amburadul. Teman saya pun tak bisa tidak untuk
\nberkomentar "gila!" untuk kasus ini.
\n
\nKetika rakyat di beberapa daerah terpaksa makan nasi aking hanya
\nuntuk sekadar bertahan hidup, pada saat yang bersamaan diberitakan
\ngaji para anggota DPRD naik sebesar dua kali lipat dari sekarang. Hal
\nitu terjadi setelah Presiden Yudhoyono menandatangani Peraturan
\nPemerintah Nomor 37 Tahun 2006 pada November lalu. Peraturan tersebut
\nmengamanatkan dua tambahan tunjangan bagi anggota DPRD, yaitu
\ntunjangan komunikasi intensif dan dana operasional.
\n
\nKenaikan gila-gilaan dialami ketua dan wakil ketua DPRD. Selain
\nmendapatkan tunjangan komunikasi intensif sebesar Rp 9 juta, ketua
\nDPRD masih mendapatkan dana operasional yang mencapai Rp 18 juta,
\nsedangkan wakil ketua mendapat dana operasional Rp 9,6 juta! Banyak
\norang kemudian geleng-geleng kepala dan kembali saya mendengar (bukan
\nhanya satu) orang berkomentar, "Gila!"
\n
\nDari hari ke hari, kita disuguhi berita-berita yang tidak hanya dapat
\nmembuat kita mengurut dada, tapi juga sering mendorong kita untuk
\nberkomentar, "Gila!" Cerita getir memilukan (bahkan kadang memalukan)
\ndari berbagai pelosok negeri ini datang silih berganti. Masyarakat
\npun cenderung bersikap permissiveness. Hari ini menjadi headline,
\nesok hari sudah tidak dibicarakan atau bahkan dilupakan.
\n
\nKondisi ini tampak diperparah dengan makin bertambahnya jumlah
\npenganggur di Indonesia. Dalam penelitiannya, Profesor M. Harvey
\nBrenner dari Universitas John Hopkins mengemukakan, untuk setiap
\nkenaikan 1 persen angka pengangguran, tercatat kenaikan 1,9 persen
\npenyakit jantung, 4,1 persen bunuh diri, dan 4,3 persen pasien baru
\ndi rumah sakit jiwa. Jangan-jangan, dengan "kegilaan" yang melanda
\nrepublik ini, persentase dari hasil studi Brenner bisa berubah.
\n
\nKetua Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa Ontoseno menuturkan gejala ",1] ); //-->
kateringnya amburadul. Teman saya pun tak bisa tidak untuk
berkomentar "gila!" untuk kasus ini.

Ketika rakyat di beberapa daerah terpaksa makan nasi aking hanya
untuk sekadar bertahan hidup, pada saat yang bersamaan diberitakan
gaji para anggota DPRD naik sebesar dua kali lipat dari sekarang. Hal
itu terjadi setelah Presiden Yudhoyono menandatangani Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 pada November lalu. Peraturan tersebut
mengamanatkan dua tambahan tunjangan bagi anggota DPRD, yaitu
tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional.

Kenaikan gila-gilaan dialami ketua dan wakil ketua DPRD. Selain
mendapatkan tunjangan komunikasi intensif sebesar Rp 9 juta, ketua
DPRD masih mendapatkan dana operasional yang mencapai Rp 18 juta,
sedangkan wakil ketua mendapat dana operasional Rp 9,6 juta! Banyak
orang kemudian geleng-geleng kepala dan kembali saya mendengar (bukan
hanya satu) orang berkomentar, "Gila!"

Dari hari ke hari, kita disuguhi berita-berita yang tidak hanya dapat
membuat kita mengurut dada, tapi juga sering mendorong kita untuk
berkomentar, "Gila!" Cerita getir memilukan (bahkan kadang memalukan)
dari berbagai pelosok negeri ini datang silih berganti. Masyarakat
pun cenderung bersikap permissiveness. Hari ini menjadi headline,
esok hari sudah tidak dibicarakan atau bahkan dilupakan.

Kondisi ini tampak diperparah dengan makin bertambahnya jumlah
penganggur di Indonesia. Dalam penelitiannya, Profesor M. Harvey
Brenner dari Universitas John Hopkins mengemukakan, untuk setiap
kenaikan 1 persen angka pengangguran, tercatat kenaikan 1,9 persen
penyakit jantung, 4,1 persen bunuh diri, dan 4,3 persen pasien baru
di rumah sakit jiwa. Jangan-jangan, dengan "kegilaan" yang melanda
republik ini, persentase dari hasil studi Brenner bisa berubah.

Ketua Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa Ontoseno menuturkan gejala
sakit jiwa yang dialami penderitanya, antara lain mudah melakukan
kekerasan seperti membakar atau menggebuki pencuri sampai mati,
manipulatif, cuek, serta tidak mengenal apa yang baik dan buruk. Dan
hal tersebut terjadi di semua lapisan masyarakat. Satu bait ramalan
Jayabaya, "sungguh zaman sedang gonjang-ganjing, menyaksikan zaman
gila, tidak ikut gila tidak dapat bagian", bisa jadi menggambarkan
keadaan bangsa kita saat ini: kalau tidak ikut gila, kita tidak
kebagian. Kalau memang demikian halnya, sungguh malang negara ini.
Jelas ada sesuatu yang salah di negeri ini, tapi dari mana kita
hendak memulai mengurai benang kusut ini?

Tak usah lagi mengurusi hal-hal remeh-temeh. Banyak persoalan besar
yang perlu diselesaikan di negeri ini: bencana lumpur Lapindo,
potensi pandemi flu burung, berbagai peraturan daerah yang tumpang-
tindih, lemahnya daya tarik investasi asing, krisis energi yang
berimpak pada ketahanan nasional, reformasi birokrasi yang belum
menyentuh lembaga yudikatif, dan segepok masalah besar lain yang
masih menunggu.

Bahkan Presiden Yudhoyono berjanji tak akan lagi melakukan kompromi
dalam mengambil keputusan yang menyangkut rakyat. Berbagai masalah
yang merundung negara ini memang membutuhkan tindakan cepat, tegas,
dan nyata--seperti dijanjikan Presiden dalam pidato sambutannya pada
acara ulang tahun ke-69 kantor berita Antara. Dalam konteks ini,
sudah sewajarnya jika Presiden bertindak cepat sehingga bisa
mengundang komentar, "Wah, gile bener, Presiden sudah bongkar
kabinet, tak ada kompromi lagi rupanya dengan parpol," atau mungkin
komentar lain yang tidak kalah gilanya: "Gila benar, kapan SBY ada
waktu istirahat kalau sampai akhir pekan pun masih mengurus tugas
negara."

Francis Fukuyama dalam bukunya, Trust, mengingatkan kita, langkah apa
pun tak akan cukup untuk menyelesaikan masalah suatu bangsa tanpa
adanya trust, jaminan rasa aman. Sesungguhnya yang diperlukan saat
ini adalah kerelaan para pemimpin dan elite untuk saling mendengar,
mengakhiri perdebatan, dan mencari jalan keluar terbaik buat
menyelamatkan bangsa dari kehancuran. Para pemimpin harus duduk
bersama dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Dan yang tak kalah
penting, pemimpin haruslah memberi contoh teladan yang baik bagi
rakyatnya. Panutan harus dimulai dari atas. Tanpa itu semua, jangan
harap bangsa ini keluar dari situasi gila seperti saat ini.

Sumber: Gila! oleh Sonny Wibisono (Koran Tempo - Sabtu, 27 Januari
2007)